Spreading Vines

Home / Spreading Vines
Spreading Vines

Spreading Vines

SPREADING VINES

by I Made Mahendra Mangku

 

“…Mengalir untuk mencapi keharmonisan dengan sendirinya…”
Bagaimana semak belukar dapat tumbuh dan mengisi ruang membentuk komposisi natural? Apabila kita alihkan pandangan dan memperhatikan tanaman liar merambati tembok, merambati tiang penyangga kabel, merambati pohon lainnya yang lebih kokoh maka tanaman liar tersebut memiliki daya untuk membalut apa yang menopangnya atau menempel pada media yang ada disekelilingnya. Pada sebuah tanah yang ditumbuhi pohon-pohon berbatang kuat yang menjulang tinggi kita mendapati suatu komposisi vertikal yang repetitif, sedangkan di satu sisi, tanaman lain dibawahnya tumbuh merambati batang pohon-pohon itu yang semakin lama semakin tinggi sehingga komposisi vertikal tidak lagi terlihat tegas sebab telah diliputi oleh yang merambat itu.

Tanaman merambat dan menjalar sebab ia tahu bahwa batangnya lemah maka ia mengembangkan organ-organ khusus pada batangnya seperti akar, duri, dan sulur.

Tanaman rambat itu memberikan persepsi bentuk baru terhadap komposisi vertikal yang kita lihat sebelumnya, ia membentuk harmonisasi atas berkembangnya setiap organ pada batang tubuhnya menjadi cabang-cabang baru sekaligus membentuk komposi-komposi baru. Apa yang ingin saya sampaikan melalui tanaman merambat ini adalah tentang ciri khas organiknya yang mampu memberikan aksen komposisi pada celah ruang kosong secara alamiah, ia bergerak untuk mencari sinar matahari dengan cara merambat.

Metafora tanaman merambat serupa dengan bagaimana Mahendra Mangku menarik kesimpulan ketika memperhatikan warna-warna cat air bercampur dan mengering di atas kertas. Warna-warna itu bercampur dengan air dan diterapkan pada bidang-bidang datar secara eskpresif dan responsif, sering sekali menjadi cenderung minimalis bahkan lebih puitis. Ada harmonisasi yang tersusun secara dramatis yang diamati olehnya yaitu merambatnya warna-warna yang ia gunakan melalui air, menyebar merambati kertas kemudian berhenti karena air terhisap ke dalam medium kertas. Efek yang dihasilkan setelahnya dapat dibaca melalui tiga hal yaitu warna, bentuk, dan komposisi.

Tiga hal esensial seni rupa ini telah dibahas panjang lebar oleh Kandinsky, singkatnya ia menyatakan bahwa bentuk sebagai representasi dari suatu objek (baik nyata maupun tidak nyata), sedangkan untuk warna dalam nilainya tidak dapat meluas tanpa batas, melainkan nilai warna didapatkan dari intensitas kecerahannya. Keduanya itulah yang mengkonstruksi komposisi, lebih jelasnya terlihat pada seni rupa abstrak.

Pada kasus lukisan Mahendra Mangku, warna yang tersusun cenderung ekspresif dengan menampilkan kekuatan karakteristik cat air yakni teknik aquarelle sehingga efek-efek yang terjadi adalah merambatnya warna melalui takaran air yang lebih banyak, tentu hal ini berimbas pada bentuk yang hadir menjadi bentuk yang tidak merepresentasikan apapun terkecuali pada sedikit kasus abstraksi sebuah lanskap bangunan. Penekanannya kali ini lebih kepada pola rambatan warna (blobor/belobor; Eng. blot) yang terjadi secara organik itu sendiri yang lihatnya sebagai suatu harmonisasi komposisi secara keseluruhan.

Dalam pandangannya kini, Mahendra Mangku melihat bahwa keharmonisan terjadi akibat dari adanya benturan, pertentangan, ketegangan yang berjalan beriringan saling mengisi, terjalin seperti tanaman yang merambat secara organik hingga membentuk suatu persepsi yang berjalan beriringan. Fenomena-fenomena yang ia amati pada kehidupan sosial-budaya masyarakat selalu menyajikan model-model seperti ini, pro dan kontra hidup berdampingan sebagaimana konsepsi oposisi biner,pernyataan-pernyataan yang saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan begitu saja. Pro dan kontra keduanya merambati realita kehidupan sosial-budaya, keduanya juga berdampingan menuju satu wujud harmonisasi.

Perhatiannya terhadap fenomena sosial memiliki relasi yang kuat terhadap bagaimana ia memahami unsur harmoni dalam lukisan abstrak, Mahendra Mangku mengamati tentang bagaimana percampuran warna terjadi secara organik melalui konteks medium cat air, inti yang esensial dari bagaimana warna membentuk komposisinya secara natural adalah dengan belobor. Belobor adalah sebuah kondisi meluasnya sesuatu yang bersifat cair berupa tinta atau warna pada kertas atau kain, dengan kata lain merambatnya pigmen warna di dalam permukaan suatu bidang yang disebabkan oleh bentuk kecelakaan saat penggunaan, sifatnya dapat dipandang sebagai sesuatu yang merusak dapat juga sebagai aspek estetik akibat ketidaksengajaan, sebagaimana dinyatakan oleh Mahendra Mangku bahwa: “…dampak kecelakaan-kecelakaan yang ada itu lihatlah dari sisi harmoninya, belobor itu kan mengalir dengan sendirinya bahkan ketika saya berkarya itu saya melihat medium-medium warna (cat air) seperti itu, warna-warna yang saya terapkan mengalir begitu saja, secara alami membangun harmonisasi yang harus disadari”

Mahendra Mangku membaca lanskap sosial-budaya melalui fenomena pertentangan yang berjalan beriringan itu, bahwa semua unsur yang ditentangkan memiliki nilai dan tujuan yang sama. Ia menghadirkannya ke dalam lanskap rupa yang terabstraksi hingga abstrak murni, mereduksi persoalan tersebut di atas permukaan kertas dengan metafora harmonisasi warna. Kenyataan abstraksi adalah bagimana membangun emosional melalui kekuatan ekspresionisme dimana hal ini beriringan dengan kenyataan tentang abstrak yang justru memurnikan realitas, keduanya mempergunakan media yang sama yaitu seni. Mahendra Mangku mengkonstruksi emosi-emosi dengan ekspresionisme melalui cat air yang dipandanganya efektif menghadirkan abstraksi fenomena kehidupan manusia dan seni (dalam konteks lukisan abstrak) dalam satu setting realitas bahasa.

Aspek warna menjadi hal yang penting di dalam lukisan Mahendra Mangku, warna menjadi realitas bahasa yang keterbacaannya tersampaikan melalui bagaimana warna diterapkan. Nilai estetiknya dibangkitkan melalui menyebar dan merambatnya warna secara organik melalui air, sesekali melalui cipratan yang disengaja dengan efek yang tidak dapat diduga, pengolahan dengan sapuan kuas yang dapat dikenali dari jejak-jejak sapuan kuas membentuk alur, terkadang warna mendapatkan respon garis yang dihasilkan dari charcoal atau sapuan warna melintang.

Kualitas-nilai puitik warna tersebut terbangun dari cara kerja tersebut, mengenai capaian energi dan kualitas warna pada lukisan juga telah dibahas oleh Dewey dengan menyatakan bahwa warna dapat saja menjadi sesuatu yang sia-sia akan tetapi dengan sentuhan, gerakan, pemberian nada-nada tertentu dan hadir secara fisik maka ia akan menghadirkan energi ekspresional.

Untuk menghadirkan energi ekspresional yang total itu Mahendra Mangku berpegangan kepada tiga aspek yang paling menentukan dari cara melukisnya yaitu pikiran, tangan, dan rasa. Tiga aspek dominan ini harus mencapai titik keseimbangan lebih dahulu, pikiran menjadi tempat tumbuhnya imajinasi tentang visual, sedangkan tangan adalah aspek penting sebagai indra pelaksana, dan rasa berfungsi sebagai kontrol dari dua aspek sebelumnya. Harmonisasi tercapai apabila titik keseimbangan ini larut bersama menuju rencana yang telah dirancang secara klise di dalam pikiran, sebab imaji-imaji yang hadir melalui pikirannya dinyatakan sebagai rancangan kasar dan harus dinyatakan melalui tindakan perwujudan lukisan. Dengan kata lain, peran mata dan rasa kemudian menjadi sesuatu yang tidak kalah pentingnya. Sejalan dengan Paul Crowther menyatakan semua indera dapat menyampaikan informasi spasial, tetapi penglihatan memungkinkan aspek spasial yang berbeda dari benda-benda, dan hubungan spasialnya dengan benda dan keadaan lain untuk dipahami secara bersamaan dalam konteks untuk melihat kesatuan ritme warna yang mencapai tingkat harmonisasi.

Pada proses perwujudan, realitanya bahwa terjadi reduksi antara segala bentuk sketsa perancangan di alam pikiran yang bersifat imajinatif dengan kenyataan yang telah dihadirkan melalui lukisan, proses perwujudan adalah rangkaian peristiwa estetik menyatakan yang abstrak di angan-angan sehingga biasanya tidak jarang akan terjadi hasil yang diluar rekaan imajinasi yang disebutnya sebagai kecelakaan estetik. Pada proses ini Mahendra Mangku sangat selektif menganalisis aspek maupun efek visual pada lukisannya yang sejalan kemudian menjadi penentu atas respon selanjutnya untuk menyelesaikan satu lukisan.

Kecelakaan estetik tersebut bersifat tidak tentu, bahwa ada yang memang dipandang layak untuk dituntaskan ada juga yang tidak, oleh sebabnya proses kurasi melalui pemindaian visual secara holistik pada satu proses perwujudan haruslah dengan cermat. Pada psikoanalisa Freud dinyatakan sebagai proses patogenik yang disebut ‘penekanan’ bahwa untuk mengambil suatu keputusan maka segala pertimbangan yang berkaitan dengan estetik berlangsung dengan sepengetahuan penuh ego. Dengan demikian, dapat dibaca bahwa hasil akhir yang memutuskan terjadinya aktivitas respon untuk mencapai harmonisasi menyeluruh dalam karya abstrak maupun abstraksi Mahendra Mangku adalah kontrol kesadaran ego yang diasah secara berkelanjutan melalui pengalaman estetiknya.

Menimbang ulang berbagai kemungkinan atas benturan, pergumulan, pada kecelakaan estetik itu sebagai sesuatu yang bergerak alami selayaknya gerak akar dan batang tanaman merambat harus diberikan sokongan energi untuk mendorongnya menjadi lebih kuat sebagai entitas yang hidup dalam lingkungan organiknya. Upaya- upaya untuk mencari harmonisasi lahir dari insting yang dibentuk secara alamiah, misalkan saja penambahan warna kontras atau warna analogus yang menumpuk warna sebelumnya, atau dapat berupa tarikan garis yang dibuat secara spontan. Spreading Vines sebagai tajuk pameran tunggal cat air Mahendra Mangku, dengan demikian, dapat dinyatakan sebagai suatu pembacaan atas fenomena alam melalui pola hidup tanaman merambat sekaligus sifat khas percampuran warna cat air yang merambati media kertas dalam relasi persoalan sosial-budaya masyarakat yang bergerak organik melalui segala bentuk pertentangan, percampuran, jalinannya dan pada titik akhir mencapai keharmonisan, yang dibutuhkan adalah energi guna mendorongnya untuk sampai pada titik puncaknya.

Pohmanis, 30 Juli 2023
Dewa Gede Purwita-Sukahet

 


 

“…Flowing to achieve harmony on its own…”
How does vegetation grow and fill space to form a natural composition? If we shift our attention and look closely at wild plants climbing walls, climbing electricity poles, climbing trees that are sturdier then these wild plants, we see that they have the power to wrap around what supports them or cling to the media around them. On land where tall trees with strong trunks grow, we find a repetitive vertical composition; while other plants beneath grow vines, which get taller and taller so that the vertical composition is no longer so apparent, because it has become overtaken by the vines. Vines and creepers know that their stems are weak so they develop special organs on their stems such as roots, thorns and tendrils.

The vines give the perception of a new form to the vertical composition that we saw before. It forms a harmonizing for the flourishing of each organ on its stem into new branches, and creates new compositions. What I want to convey through this vine is about its organic character that is able to give a compositional accent to the gaps in the empty space naturally, it moves to seek sunlight by creeping.

The metaphor of the vine is similar to how Mahendra Mangku draws conclusions when watching watercolors mix and dry on paper. The colors combine with water and are applied to flat planes in an expressive and responsive manner, often becoming minimalist, even poetic. He observes a dramatically composed harmony in the creeping of the colors through the water, spreading across the paper and then stopping as the water is sucked into the paper medium. The resulting effect can be read through three things: color, shape, and composition.

Kandinsky has discussed at length these three essentials in art. Essentially, he stated that form is a representation of an object (whether real or unreal), while for color, its value cannot expand indefinitely, but the value of color is obtained from the intensity of its brightness. Both are what construct the composition, seen more clearly in abstract art. In the case of Mahendra Mangku’s painting, the composed colors tend to be expressive by displaying the characteristic strength of watercolor, that is, the aquarelle technique such that the effects that occur are the propagation of the colors through larger amounts of water. Of course this has an impact on the form that is present to become a form that does not represent anything, except in a few cases of building an abstract landscape. The emphasis this time is more on the pattern of color propagation or flowing that occurs organically itself, which he sees as a harmonizing of the overall composition.

In his current view, Mahendra Mangku sees that harmony occurs as a result of collisions, contradictions, tensions that go hand in hand, complement each other, intertwine organically like vines to form a perception that is coherent. The phenomena that he observes in the socio-cultural life of the community are the same—the pros and cons of coexisting as binary opposition, statements that complement each other and cannot be easily separated. Positive and negative both propagate the reality of socio-cultural life, both of them side by side towards a form of harmony.

Mahendra Mangku’s attention to social phenomena has a strong relation to how he understands the element of harmony in abstract painting. He observes how the mixing of colors occurs organically through the context of the medium of watercolor: the essential core of how colors naturally form compositions is to flow, or belobor in Indonesian. Flowing is a condition where something liquid, be it ink or paint, spreads on paper or cloth— in other words the spreading of color pigments on the surface of a field caused by an accidental form of use. Its nature can be seen as something destructive or as an aesthetic aspect due to accident. As Mahendra Mangku says: …The impact of these accidents is seen in terms of harmony, the flow spreads by itself. Even while I’m working, I see watercolors like that, the colors that I apply just flow, naturally building harmonies that must be realized.

Mahendra Mangku reads the socio-cultural landscape through the phenomenon of conflict in which all opposing elements have the same value and purpose. He presents it in a purely abstracted visual landscape, reducing the issue to the surface of paper with the metaphor of color harmonization. The reality of abstraction is how to build emotion through the power of expressionism where this goes hand in hand with the reality of the abstract, which purifies reality—both using the same medium, that is, art. Mahendra Mangku constructs emotions with expressionism through watercolor, which he sees as effective in presenting the abstraction of the phenomena of human life and art (in the context of abstract painting) in one setting of language reality.

The aspect of color is important in Mahendra Mangku’s paintings: color becomes the reality of language whose legibility is conveyed through how color is applied. Its aesthetic value is generated through the spread and propagation of color organically through water, occasionally through intentional splashes with unpredictable effects, processing with brush strokes that can be recognized from their traces forming grooves. Sometimes colors get a line response produced from charcoal or transverse color strokes. The poetic qualities of color are built from this way of working. Regarding the achievement of energy and quality of color in paintings, Dewey has discussed this by stating that color can be something that is wasted, but with touch, movement, giving certain tones and being physically present, then it will bring expressional energy. To bring out this total expressive energy, Mahendra Mangku relies on the three most decisive aspects of his painting method: the mind, the hand, and feeling. These three dominant aspects must first reach a point of balance, the mind being the place where the visual imagination grows, while the hand is the sense of execution, and feeling serves as the control of the previous two aspects. Harmonization is achieved when this balance point dissolves together towards a plan that has been clichéd in the mind, because the images that come through the mind appear as a rough design and must be expressed through the act of painting. In other words, the role of the eye and feeling then become equally important. In line with Paul Crowther, all senses can convey spatial information; but vision allows the different spatial aspects of objects, and their spatial relationships with other objects
and circumstances, to be understood simultaneously in the context of seeing the unity of color rhythms that reach the level of harmonization.

In the process of realization, the reality is that there is a reduction between all forms of design sketches in the imaginative nature of the mind and the reality that has been presented through painting. The process of realization is a series of aesthetic events expressing the abstract in thinking, so that it is not uncommon for results to occur that are beyond imagination, which can be called an aesthetic accident. In this process, Mahendra Mangku is very selective in analyzing the visual aspects and effects of his paintings, which in turn determines the next response to complete a painting.

The aesthetic accident is indeterminate, in that some are deemed worthy of completion and others are not, which is why the process of curation through holistic visual scanning of a realization process must be meticulous. In Freud’s psychoanalysis, it is stated as a pathogenic process called ‘suppression’ that in order to make a decision, all considerations related to aesthetics take place with the full knowledge of the ego. Thus, it can be read that the final result that decides the activity of response to achieve overall harmonization in abstract art, and particularly Mahendra Mangku’s abstract works, is the control of ego consciousness that is honed continuously through his aesthetic experience.

Reconsidering the possibilities of collisions, struggles, and aesthetic accidents as something that moves naturally like the roots and stems of vines, we see that this must be given energy to encourage it to become stronger as a living entity in its organic environment. Efforts to find harmony are born from natural instincts, such as adding a contrasting color or analogous colors that overlap the previous colors, or that can be in the form of spontaneously drawn lines. Spreading Vines, as the title of Mahendra Mangku’s solo exhibition of watercolors, can thus be expressed as a reading of natural phenomena through the life patterns of vines as well as the distinctive nature of the way watercolors mix and spread that across paper—and all this seen in relation to social and cultural issues, which move organically through all forms of opposition, mixing, intertwining and at the end point reaching harmony. What is needed is energy to push it to its peak.

Dewa Gede Purwita-Sukahet
Pohmanis, 30 July 2023

Translated by Diana Darling

Download Catalogue