Dancing Lines

Home / Dancing Lines
Dancing Lines

Dancing Lines

by I Made Sumadiyasa

Made Sumadiyasa, sejak tahun 1994, telah mencapai tangga puncak sebagai pelukis kontemporer Indonesia yang mengeksplorasi garis sebagai elemen artistik karya. Kemelekatan pelukis kelahiran Lalang Linggah-Tabanan, 8 Februari 1971 ini dengan garis, justru setaut riwayat masa kanak-kanak. Made Sumadiyasa sejak dini, bermain ke pantai, dan selalu memainkan aneka ranting untuk menggores bebas di pasir; ia menari lincah, lintasan garis tertatah meliak-liuk di pasir pun mengikuti irama ujung ranting. Kebiasaan menggaris bebas sejak kanak-kanak, bermuara kala Made mengikuti pembelajaran melukis pada Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) di Batubulan, berikut melanjutkan studi di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tahun 1992. Garis-gemaris selalu hadir menyentak dan berirama dinamis pada karya seni lukisnya.

Garis pada lukisan Made Sumadiyasa, bukan sebagai batas limit objek visual. Garis tidak hadir repetitif, apalagi naratif. Tarian garis berirama menyusun dinamika komposisi; beragam intensitas dan ukuran garis menyembur, juga meluap bebas— membangun ruang-ruang imajinatif. Lihat seksama lukisan Made, berjudul “Hill Over the Lake I” (akrilik pada kertas, 76X56 Cm, 2023), begitu juga karya “Floating” (akrilik pada kertas, 75X55 Cm, 2023); keruangan imajiner disusun atas tarian garis spontan, bebas, bahkan sangat liar.

Made Sumadiyasa memainkan kuas juga ujung pena, untuk meluapkan kespontanan; garis hasil torehan, jipratan, atau efek alamiah dari sabetan dan juga luberan warna atau tinta cina. Energi masa kecil, saat bermain-menoreh garis di pasir laut, selalu hidup, mengorbit jadi gairah, dan kekuatan yang merasuki proses berkarya Made hingga kini. Karya seni lukis Made Sumadiyasa, seluruhnya lahir dan hadir tanpa pretensi untuk menghias, alih- alih mengindah-indahkan objek. Seni lukis Made merupakan representasi energi spontan; imajinasi dan intuisi mengontrol seperlunya, justru keseluruhan menjadi ruang spontan tanpa batas. Kekuatan dalam berolah garis spontan sejak 1990-an sudah menonjol dan diakui, terbukti tahun 1994, karya Made Sumadiyasa berjudul ‘’Gejolak Bali’’ (100X200 Cm) meraih McDonald’s Award for Best Painting, Lustrum II-Institut Seni Indonesia, Yogyakarta dan meraih Best Sketch; Institut Seni Indonesia, Yogyakarta (1993) Wayan Kun Adnyana, guru besar sejarah seni rupa pada Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar

Kebebasan Made dalam berolah garis, berbeda dengan kecenderungan umum pelukis Bali yang menempatkan garis sebagai subjek perangkai narasi. Objek visual repetitif disusun atas konfigurasi garis. Garis paling elementer sebagai pembentuk beragam figir-figur objek bernama, sesuai pemeranan wiracerita dan juga cerita rakyat Bali. Bahkan seni lukis oleh maestro I Gusti Nyoman Lempad, seutuhnya tentang narasi garis. Figurasi dalam lukisan Lempad secara dominan terbentuk dengan garis ‘sakti’ yang mengalir- merangkai, memanifestasikan beragam objek gambar yang outentik.

Berbeda dengan Lempad, tarian garis pada karya seni lukis Made Sumadiyasa hadir berjarak dari kehendak garis sebagai elementer narasi. Kecenderungan karya seni lukis Sumadiyasa justru menempatkan garis hadir independen, tanpa tendensi sebagai pembentuk narasi. Garis hadir melampaui fungsi naratif, berbeda dengan langgam warisan seni lukis Pita Maha 1930-an yang seutuhnya menempatkan garis sebagai pembentuk tuturan dan pemeranan.

Logika Sensasi Garis Spontan
Artistik tarian garis spontan Made Sumadiyasa, menarik didekati dengan perspektif The Logic of Sensation, Gilles Deleuze (2002). Salah satu proposisi yang ditawarkan Deleuze, bahwa sensasi visual non-representatif, non- ilustratif, dan nonnaratif, terletak pada hadirnya goresan-goresan tidak sengaja, bebas, dan acak. Bahkan, garis mencapai tingkatan sebagai goresan-goresan yang tidak menandai (a-signifying traits) (Deleuze, 2002: 82; Deleuze, 2022: 116). Sepenuhnya goresan yang hadir dari energi tangan secara manual, penuh kemerdekaan, dan berjiwa.

Garis spontan Made Sumadiyasa lahir dari peluapan kebebasan, nun jauh sejak masa kanak-kanak. Garis digunakan tidak berkehendak untuk menuturkan presisi realitas, tetapi menghadirkan kekuatan tersembunyi dari realitas dan juga alam yang ia hayati. Garis spontan, bebas, dan juga acak membangun imaji kekuatan alam, bukan kemolekan. Kekuatan hadir melampaui kekaguman tatapan. Pada terma ini sensasi sepenuhnya menunjuk pada kekuatan kespontanan, dan ini organis pada diri Made Sumadiyasa.

Kekuatan kespontanan juga diakslerasi pengelolaan kesadaran artistik, yang menjadi ciri utama perupa akademis. Kadang kesadaran artistik dapat menggerus ke arah praktik pengomposisian kemolekan visual. Made Sumadiyasa, rupanya tetap teguh, memberikan kespontanan hadir tanpa kendali mutlak kesadaran artistik akademis, sehingga kespontanan bebas, dan kadang-kadang acak hadir dalam karya. Selamat!

Download Catalogue